PDIP Minta Debat Capres Dipersingkat


JAKARTA Sebelum frekuensi debat capres mengerucut menjadi fix lima kali di rapat panja (panitia kerja), usul fraksi-fraksi cukup beragam. FPG mengusulkan debat dilakukan minimal lima kali dan FPPP minimal tiga kali. FPKS malah minta sepuluh kali.

FPDIP yang awalnya diduga menolak debat capres ternyata menyetujui. Hanya, mereka mengusulkan agar intensitasnya maksimal tiga kali. ''Tapi, dua kali saya kira sudah cukup ideal. Kita ini kan tidak sedang mencari presiden yang ahli debat saja,'' kata Wakil Ketua Pansus RUU Pilpres dari FPDIP Yasonna Laoly.

Ketika rapat panitia kerja (panja) menyepakati intensitas debat capres sebanyak lima kali, PDIP tetap tidak terima. Keberatan mereka mencuat kembali dalam rapat timsin (tim sinkronisasi) RUU Pilpres, 3 September lalu, yang seharusnya tinggal mengcross check materi-materi di DIM (daftar inventaris masalah) yang telah disepakati.

''Kami akan meminta pasal ini dibahas lagi di panja, sekitar minggu ketiga Oktober,'' cetusnya. Dia beralasan, waktu yang tersedia, mulai penetapan pasangan capres oleh KPU sampai hari pemungutan suara, maksimal hanya 1,5-2 bulan.

Menurut Yasonna, masa kampanye itu lebih baik dimanfaatkan untuk sowan ke daerah menemui petani, pedagang pasar, atau nelayan. Dia juga menyampaikan bahwa intensitas debat capres di negara yang demokrasinya sudah cukup mapan seperti AS saja biasanya hanya 2-3 kali.

Padahal, imbuh Yasonna, jumlah penduduk AS jauh lebih besar daripada Indonesia dan di sana terdapat lebih dari 50 negara bagian. Sementara itu, Indonesia hanya memiliki 33 provinsi. ''Di AS, debat capres menjadi semacam kebiasaan atau konvensi dalam demokrasi mereka. Jadi, tidak diatur undang-undang,'' katanya.

Secara terpisah, Ketua FPPP Lukman Hakim Syaifuddin terkesan keberatan dengan permintaan FPDIP. ''Debat capres tetap lima kali. Nggak ada yang mengusulkan untuk diubah. Semua materi substansi sudah selesai,'' ujarnya. (pri)

Diambil dari Jawa Pos

PDIP Kepleset Debat Capres (Lagi)...




Jakarta PDIP sepertinya tak henti didera luka. Sialnya, hal itu tak melulu karena serangan dari lawan.

Terakhir, PDIP terkena sabetan soal debat kandidat presiden. Meski sebelumnya sudah menyepakati jumlah debat berkisar antara 5 - 10 kali, bekalangan para politisi PDIP di parlemen mulai mempersoalkannya lagi. Mereka rata-rata menghendaki agar debat antar capres itu cukup 2 - 3 saja. Apa argumentasi mereka?

"Kita bukan sedang mencari presiden ahli debat," kata Yasona Laoly, politisi PDIP yang menjabat sebagai wakil ketua Pansus RUU Pilpres. ""Kualitas visi dan misi yang relevan, bukan kemampuan berdebat (yang perlu dimiliki capres)," kata Firman Jaya Deli, politisi moncong putih lainnya. "Jangan substansi dikalahkan dengan retorika. Debat harus menjadikan rakyat sebagai subyek, bukan obyek. Karena itu, debat capres-cawapres harus disikapi secara bijak," ujar Maurar Sirait, politisi muda partai ini.

Sadar atau tidak, argumentasi mereka justru mengukuhkan anggapan yang selama ini beredar di kalangan masyarakat. Sebagaimana diketahui, berkembang stereotype bahwa Megawati bukanlah figur yang cukup cerdas sehingga "minder" jika harus beradu argumentasi secara langsung dan terbuka.

Yang lebih celaka lagi, upaya partai ini merendahkan arti penting acara debat justru berlawanan dengan pernyataan mereka baru-baru ini yang menantang SBY untuk berdebat soal LNG Tangguh. Dengan mengumbar tantangan itu, implisit PDIP menyadari bahwa debat merupakan salah satu instrumen politik yang berarti untuk memperjelas duduk perkara dan sekaligus mempertegas titik berdiri seorang politisi terhadap sebuah isu kebijakan tertentu.

Bagi Pemilih, Debat Ada Gunanya,loh
Selain itu, argumentasi yang merendah-rendahkan arti penting debat sejatinya juga tak terlalu tepat. Pasalnya, acara debat antar kandidat capres akan memberikan kontribusi pada pemilih sekurang-kurangnya dalam dua hal.

Pertama, pemilih yang menonton akan mendapat informasi yang lebih baik lagi tentang isu maupun posisi dari seorang capres.Sebuah riset di Amerika Serikat menunjukkan bahwa penonton debat mendapat pendalaman informasi dari isu-isu yang diperbincangkan dalam debat. Namun, tidak untuk isu-isu yang tidak didiskusikan.

Yang kedua, penonton akan mendapat kesempatan untuk melakukan evaluasi terhadap aspek personal seorang capres. Hal itu diperolehnya dari memperhatikan gaya komunikasi interpersonal yang diperagakan seorang capres.

Dalam hal ini, pemilih belum tentu terpikat dengan capres yang pandai beretorika dan mengurai gagasan secara gamblang. Jika yang terlihat dari capres yang lihai itu adalah sosok yang "jumawa" bukan tak mungkin pemilih justru akan antipati.

Amunisi Berikutnya
Dan, soal debat bukan satu-satunya luka baru itu. Sebelumnya, mereka juga tergores soal padi. Sejatinya, SBY-lah yang terkena tohok lantaran buruknya kinerja padi supertoy HL 2 yang digagas oleh Heru Lelono, staf khusus kepresidenan.

Tapi, tak disangka, benih unggulan mereka yang diberi nama Mari Sejahterakan Petani (MSP) juga dipersoalkan. Selain dinilai melanggar regulasi, hasilnya juga tak sebaik yang digembar-gemborkan. Lebih celaka lagi karena PDIP berdalih rendahnya kinerja bibit MSP karena kelangkaan pupuk. Sebab, ada bantahan yang cukup menohok: mengapa petani di daerah yang sama yang mempergunakan bibit yang lain hasil panennya tetap bagus?

Di pekan mendatang, moncong putih masih berpotensi menuai luka baru dari soal penjualan tanker LVCC ke Pertamina yang sudah mulai diapungkan kembali. Jika begitu, sangat terbuka peluang soal penjualan Indosat juga bakal dilambungkan kembali ke publik.

Terkait ramadhan, ada kemungkinan Megawati bakal ditohok dengan pernyataannya pada acara debat presiden 2004 lalu. Ketika itu, Megawati disebut-sebut membanggakan industri bir sebagai prestasi pemerintah mengundang investor asing."Contohnya, di Pulogadung, masih ada investasi bir bermerek SanMiguel,"ujarnya. Kalau pernyataan ini dikontekskan lagi dengan semangat ramadhan, Megawati dan PDIP memang bakal tambah "bonyok" saja.

Dengan potensi gempuran seperti itu, PDIP mau tak mau dipaksa keadaan untuk terus bertahan. Padahal, sejatinya, sebagai opsisi, pakem dasar strategi kampanyenya adalah menyerang sang incumbent. Tapi, apa boleh buat, kini dia malah sibuk menangkis serangan.

Diambil dari berpolitik.com